Sejarah Dakwah Dan Karomah Wali Songo
Wali Songo Yaitu Nama suatu dewan dakwah yang mengajarkan ajaran Islam di bumi nusantara
indonesia. Apabila salah
satu dari dewan Dakwah atau sunan sunan tersebut meninggal dunia maka akan segera
diganti oleh sunan lainya yang disepakati para wali songo.
Wali
9 yang di kenal kalangan umat Islam di Tanah jawa dan nusantara indonesia adalah
wali songo periode yang kelima Manurut buku kisah wali songo yang disusun
MB. Rahimsyah Ar.
Wali Songo disebut para sunan karena mereka tersusun dalam 9 orang mubalig penyembar Ajaran Islam di pulau jawa.
Berikut
nama - nama sunan sunan atau di sebut wali songo yang dimaksud periode
ke lima yaitu Syeh Maulana Malik Ibrahim(Sunan Gresik), Sunan Ampel,
Sunan
Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Muria,
serta Sunan Gunung Jati.
Itulah
9 wali ditanah jawa yang banyak di ziarahi makam - makam-nya oleh umat
Islam di seluruh dunia. kususnya masyarakat indonesia bahkan makamnya
menjadi pusat wisata ziarah religi .
Berikut kisah cerita wali songo dalam sejarah lengkap sembilan waliyullah.
Sunan Maulana Malik
Ibrahim
Asal usul syeh maulana malik ibrahim.
jauh sebelum beliau datang ke tanah jawa, sudah ada umat islam di
daerah pantai utara, termasuk desa Leran. dengan adanya bukti makam
seorang wanita bernama Fatimah binti maimun yang meninggal pada tahun
475 Hijriyah tau tahun 1082 masahi.
Sunan
Maulana Malik Ibrahim lebih dikenal penduduk setempat sebagai kakek
Bantal itu diperkirakan datang ke gresik pada tahun 1404 M. yang pada
ahir hayatnya pada tahun 1419.
Gambar ilustrasi Sunan Gresik
Syeh
Maulana Malik Ibrahim
kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Selain disebut Kakek Bantal.
Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra
Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak
adalah anak
dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap
di
Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari
Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim
pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun
1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah
Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden
Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M
Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi
menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya
pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah
kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan
Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang
dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu
menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik
Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai
tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal
dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta
yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari
tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi
dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama
di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di
kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel
Sejarah Sunan Ampel sebagai wali songo, Ia putera tertua
Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di
masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401
Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama
bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian
dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi
menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama
Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu
di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah
Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari
Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit
beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah
dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai
beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan
Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan
kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan
Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra
dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang
berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan
pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada
pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat
berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya
adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya
untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut
fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran
sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang
mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh
madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel
diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Giri
Sejarah / Sunan Giri Ia memiliki nama kecil
Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini
Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama
yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga
ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku
kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana
Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil
meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena
itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Gambar Sunan Giri
Sunan Giri kecil
menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah
juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup
ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik.
Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya
dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai
pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri
mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur
pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat
kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri
juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh
menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah
melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat
dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak.
Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai
mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan
hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai
tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren
Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti
Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam
ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan
Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia
dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun
menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar
biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng
disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung
-lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
Sunan Bonang
Dari berbagai sumber
disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum
Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng
Manila.
Ada yang mengatakan
Dewi Condrowati itu adalah putra Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum
adalah salah seorang Pangeran Majapahit Karena ibunya adalah putri Raja
Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang Wali
yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa, tentu saja
Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum
Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia
lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam.
Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini
juga memper-siapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai
literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja
meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu Negeri Pasai.
Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari
Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri
Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesin, Arab dan
Parsiatau Iran.
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia
lanjut. Beliau meninmggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita segera disebar ke seluruh Tanah Jawa.Para
murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan
penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak
memakamkanjenazah beliau di Pulau Bawean.Tetapi murid-murid yang berasal dari
Madura dan Surabaya menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahandanya
yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembuingkus
jenazah mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik
orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya,orang-orang Madura dan Surabaya
menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban.Lalu
mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya.
Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu.
Kapal layar segera bergerak ke arah ke Surabaya
.Tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan
mengangkut jenazahnya tidakbisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan
Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean
ternyata juga ada jenazahnya.Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh
khidmat.
Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah
karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak
ada permusuhan di antara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525. Makam yang
dianggap asli adalah yang berada di kota Tuban sehingga sampai sekarang makam
itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.
Sesudah belajar di Negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim
dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan
pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk
berdakwah di daerah Lasem.Rembang, Tuban.dan daerah Sempadan Surabaya.
BIJAK DALAM BERDAKWAH
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering
mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa
seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang
ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak
maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang
membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa
seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat
bagi para pendengamya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti
banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari
mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan
tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.Begitulah siasat Raden Makdum
Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut
simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim
adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa
penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan
paksaan.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak,
baik yang beradadiTuban, Pulau Bawean, Jepara,Surabaya maupun Madura. Karena
beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat
memberinyagelar Sunan Bonang.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga Dialah “wali” yang
namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450
Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh
pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah
menganut Islam
Nama kecil Sunan
Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti
Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam
versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon
berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan
Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan
Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk
berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut
istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya
sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Menurut cerita yang
ada, Beliau diperkirakan lahir di tahun 1450. Asal-usul atau silsilah beliau
ada yang berpendapat Raden Said atau Sunan Kalijaga merupakan orang pribumi
Jawa asli. Pendapat tersebut berdasarkan pada cerita Babad Tuban yang menceritakan
tentang penguasa Tuban pada tahun 1500 M
Masa hidup Sunan
Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546
serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia
ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid
adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Sunan kalijaga sebelum
menjadi wali songo dulunya adalah seorang perampok yang hasil rampokanya dibagikan
kepada rakyat miskin yang pada waktu itu rakyat diharuskan membayar upeti,
padahal rakyat pada waktu itu lagi musim pajeklik.
Singkat cerita Raden
Said tertangkap oleh ayahnya Adipati Tuban, yang menyebabkan Raden Said diusir
dari rumah ahirnya Setelah diusir Raden Said tinggal di hutan yang bernama
Jatiwangi, tetapi Raden Said tetap berbendirianya ingin menolong rakyat miskin
mengulangi aksinya dengan nama samaran Brandal Lokajaya selama tinggal di hutan
tersebut.
Suatu ketika lewatlah
seorang berpakaian serba putih dengan membawa tongkat yang gagangnya berkilau
seperti emas. Beliau pun bermaksud melakukan aksi untuk merampas tongkat
tersebut, namun kejadian tersebut malah membuat Raden Said tersentuh dan
tersentak hatinya.
Ketika Raden Said
merebut tongkat dari orang berbaju putih secara paksa menyebabkan orang
tersebut tersungkur jatuh. Sambil mengeluarkan air mata dan tanpa suara orang
itu pun bangun dengan susah payah. Sedangkan, Raden Said saat itu mengamati
tongkat itu, sadar bahwa tongkat itu tidak terbuat dari emas.
Heran melihat orang
berbaju putih itu menangis, akhirnya Raden Said pun mengembalikan tongkatnya. Namun
orang itu berkata “Bukan, tongkat itu yang aku tangisi” sambil menunjukkan
rumput di telapak tangannya. “Perhatikanlah Aku sudah berbuat dosa, melakukan
perbuatan sia-sia. Rumput ini tercabut saat aku jatuh tadi.”
“Cuma beberapa helai
rumput saja. Kamu merasa berdosa?” tanya Raden Said heran.
“Ya , memang berdosa!
Karena kamu mencabutnya tanpa sebuah kebutuhan. Apabila untuk makanan ternak
itu tidak apa. Namun apabila untuk sebuah kesia-siaan sungguh sebuah dosa!”
jawab orang itu.
Kemudian Raden Said
tentang apa yang sedang ia perbuat di tengah hutan seperti ini. Setelah
mengetahui perbuatan Raden Said, orang itu mengatakan sebuah perumpamaan
terhadap perbuatan Raden Said.
Apa yang dilakukan
Raden Said ibarat mencuci pakaian yang kotor menggunakan air kencing yang hanya
akan menambah kotor dan bau pakaian tersebut. Raden Said pun tercekat mendengar
pernyataan orang berbaju putih tersebut.
Raden Said pun semakin
dibuat terpukau dengan keajaiban yang ditunjukkan dengan mengubah sebuah pohon
aren menjadi pohon emas. Karena penasaran dan kagum, Raden Said memanjat pohon
aren itu. Namun ketika hendak mengambil buahnya, tiba-tiba pohon itu rontok
mengenai kepalanya. Akhirnya Beliau jatuh ke tanah dan pingsan.
Setelah bangun dari
pingsan, Raden Said pun sadar bahwa orang berbaju putih itu bukan orang biasa.
Sehingga timbul keinginan untuk belajar kepadanya. Akhirnya dikejarnya orang
berbaju putih itu sekuat tenaga. Setelah berhasil mengejarnya ia pun
menyampaikan keinginannya untuk berguru kepada orang berbaju putih itu.
Kemudian diberikan
sebuah syarat yaitu Raden Said diperintahkan untuk menjaga tongkat yang dibawa
dan tidak boleh beranjak sebelum orang itu kembali menemuinya. Tiga tahun
kemudian datanglah orang itu menemui Raden Said yang ternyata masih menjaga
tongkat yang ditancapkan di pinggir kali (sungai).
Orang berbaju putih itu
ternyata adalah Sunan Bonang. Kemudian Raden Said diajak pergi ke Tuban untuk
diberi pelajaran agama. Sebagian orang percaya bahwa dari kisah inilah nama
Sunan Kalijaga diberikan kepada Raden Said. Karena kata Kalijaga terdiri dari
“kali” berarti sungai dan “jaga” berarti menjaga.
Setelah menjadi sunan
maka sunan bonan mengizinkan sunan kalijaga untuk berdakwah islam ditanah jawa Dalam
dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah.
Ia sangat toleran pada
budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang
pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan
sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan
Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir,
wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta
Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang
Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua
beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut
sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan
Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas,
serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu
-selatan Demak.
Sunan Gunung Jati
Sejarah Sunan Gunung Jati sebagai wali songo, Banyak kisah tak masuk
akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia
pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu
Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad
Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya
mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M.
Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa.
Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir
keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah
mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat
berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan
atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga
dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan
Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan
Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk
menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia
menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat
dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar
wilayah.
Bersama putranya,
Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten.
Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten
tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun,
Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan
itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung
Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di
daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon
dari arah barat.
Sunan Drajat
Sejarah Sunan Drajat sebagai wali songo, Nama kecilnya Raden
Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang.
Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun
1470 M.
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah
ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir
Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat
berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur,
yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid
dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak
mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi
cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia
menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat
pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga
dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya,
ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Sunan Kudus
Sejarah Sunan Kudus sebagai wali songo, Nama kecilnya Jaffar
Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak
Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra
Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun
diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak
berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di
Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun
meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang
dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia
memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu,
ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman
masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi
setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang
berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus,
masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga
menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan
yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah
seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah
menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di
bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya
Penangsang.
Sunan Muria
Sejarah Sunan Muria sebagai wali songo, Ia putra Dewi Saroh
–adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan
Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat
tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya
banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah,
Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat
kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat
jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang
dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria
seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan
Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai
masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat
diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara,
Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat
seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Itulah sekilas perjalanan para waliyullah di Tanah Jawa Dan Nusantara. mudah mudaham bermanfaat
terima kasih