Wisata Dan Religi

Tempat Ziarah makam Wali Songo Di Pulau Jawa

Tempat Ziarah Makam Wali Songo Di Tanah Jawa
Sebelum membaca alamat makam wali songo, baca Kisah / sejarah Masing masing sunan wali 9 klik Nama nama sunan wali songo, seperti Sunan Ampel. Syekh Maulana Malik Ibrahim. sunan Giri. Sunan Bonang. Sunan Kalijaga. Sunan Kudus. Sunan Drajat. Sunan Muria. Sunan Gunung Jati.

Wali Songo merupakan 9 orang tokoh wali bersejarah yang ikut andil dalam penyebaran ajaran Islam di Pulau Jawa, dan sampai sekarang nama - nama beliau sebagai sunan masih harum di kalangan umat Islam bahkan ajaranya juga masih di lestarikan sampai sekarang. 

Makam para Wali Songo Ini pun makin hari kian ramai tidak pernah sepi dari penziarah / Sebagai Wisata Religi baik dari berbagai daerah apalagi di hari kalender Islam libur begitu padat makam para wali songo sampai bergantian dengan antrian untuk berdo'a.

Dalam ber- ziarah hendaknya jangan meminta kepada wali songo akan tetapi meminta langsung kepada Allah ziarah itu hanya kita berwasilah kepada mereka, karena para wali songo adalah orang orang soleh yang selalu dekat dengan Allah. 

Berikut tempat makam para wali songo yang selalu ramai dengan penziarah Di Berbagai daerah di Indonesia bahkan mancanegara baik beragama Islam maupun Non Muslim yang hanya sekedar ingin tahu tempat tempat bersejarah atau hanya sekedar wisata Tour saja.

Pertama, Tempat Makam Sunan Ampel
Sejarah Sunan Ampel adalah salah seorang wali di antara 9 Wali songo yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Ia lahir 1401 di Champa
Tempat Makam Sunan Ampel Jalan KH. Mas Mansyur Kelurahan Ampel, semampir Surabaya Jawa Timur. Tepatnya dijalan Nyamplungan. 


Salah satu tempat wisata / situs di Surabaya ini yang ramai dikunjungi warga muslim karena lokasinya yang berada di tengah kota dan didukung jalur transportasi yang lancar. dan Juga memiliki sejarah Islam di tanah jawa.
Gambar :
gambar / foto wali songo

Kedua, Tempat Makam Sunan Giri
Sejarah Sunan Giri adalah nama salah seorang Wali songo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri membangun Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa, yang pengaruhnya bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudro. Ia lahir di Blambangan tahun 1442, dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.

Sampai sekarang makam Sunan Giri dijadikan wisata religi, dan juga sebagai tempat bersejarah bagi umat islam di tanah jawa,
Alamat Makam Sunan Giri: Jl. Sunan Giri, kec. Kebomas, Gresik, Jawa Timur.
Gambar :
gambar / foto wali songo

Ketiga, Tempat Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim
Sejarah Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Wali songo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo, kota Gresik, Jawa Timur.

Tempat Makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik ini berada di tepi Jalan Malik Ibrahim di Desa Gapuro Sukolilo, 
Gambar :
gambar / foto wali songo
Keempat, Tempat Makam Sunan Drajat
Sejarah Sunan Drajat salah satu dari wali songo diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang.

Untuk pengenalan sejarah budaya bagi dunia pendidikan, di sekitar makam Sunan Drajat dibangun Museum Sunan Drajat dan bisa diakses masyarakat umum secara gratis.

Tempat makam Sunan Drajat di daerah Paciran, Lamongan, Jawa Timur.
Gambar :
Kelima, Tempat Makam Sunan Bonang
Sejarah Sunan Bonang adalah bagian dari wali songo beliau memiliki beberapa versi cerita. Ada yang mengatakan Sunan Bonang dimakamkan di 3 lokasi, yaitu Rembang, Tuban, dan Pulau Bawean. Namun sebagian besar ulama dan ahli sejarah setuju bahwa makam asli Sunan Bonang berada di kota Tuban, Jawa Timur. Makam tersebut berada di sebelah barat Masjid Agung Tuban, tepat di salah satu sisi alun-alun Kota Tuban.

Alamat Makam Sunan Bonang:  Jl. Gajah Mada , Sukolilo, Tuban , Jawa Timur.
Gambar :
Keenam, Tempat Makam Sunan Muria

Sejarah Sunan Muria di Gunung Muria adalah sebuah gunung di wilayah utara Jawa Tengah bagian timur, yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kudus di sisi selatan, di sisi barat laut berbatasan dengan Kabupaten Jepara, Di gunung muria ini ada makam wali Songo bernama Sunan Muria

Sebelum mencapai makam Sunan Muria tersebut, wisatawan harus menguji mental dan fisik untuk melewati jalur mendaki dan terjal menuju lokasi makam. Namun kini sudah ada layanan ojek yang mendukung wisata ini.

Alamat Makam Sunan Muria : Desa Colo, kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah.
Gambar :
Ketujuh, Tempat Makam Sunan Kudus
Sejarah Dan Kisah Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Nama lengkapnya adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung.

Sesuai namanya, makam Sunan Kudus berada di Kota Kudus, Jawa Tengah. Lokasi makam tak jauh dari Masjid Kudus yang memiliki menara mirip bangunan candi Hindu. Salah satu tempat wisata Religi di Jawa Tengah ini ramai dikunjungi wisatawan yang ingi berziarah

Alamat Makam Sunan Kudus: Jl. Menara, Kudus, Jawa Tengah.
Gambar :


Kedelapan, Tempat Makam Sunan Kalijaga Di Demak
Sejarah Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak. 

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Kota Demak bukan hanya terkenal dalam bidang sejarah budaya karena pernah berdiri Kerajaan Islam Demak. Disana juga terdapat makam Sunan Kalijaga. Lokasi makam Sunan Kalijaga sendiri agak ke daerah pinggiran kota Demak.  Inilah salah satu obyek wisata di Jawa Tengah yang memiliki nuansa Jawa yang sangat kental.

Alamat  Makam Sunan Kalijaga: Jl. R. Sahid, Kadilangu,Demak, Kecamatan Jati, Kudus, Jawa tengah.
Gambar :


Kesembilan, Tempat Makam Sunan Gunung Jati
Sejarah Dan kisah Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo. Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat.

Makam Sunan Gunung Jati, salah satu makam Wali yang berada di Jawa Barat. Lokasi makam berada di salah satu daerah di kota Cirebon, Jawa Barat. Makam Sunan Gunung Jati berhiaskan ornamen dan piring antik dari China. Menurut sejarah yang beredar di masyarakat, Sunan Gunung Jati semasa hidupnya pernah menikahi Putri Ong Tien dari China sehingga budaya Tiongkok tampak dalam peninggalan sejarah di Cirebon.

Alamat Makam Sunan Gunung Jati : Jl. Raya Sunan Gunung Jati, Kalisapu, Cirebon
Itulah tempat makam wali songo yang ada ditanah jawa.
Gambar :


Sejarah Dakwah Wali Songo Dan Nama Asli

Sejarah Dakwah Dan Karomah Wali Songo
Wali Songo Yaitu Nama suatu dewan dakwah yang mengajarkan ajaran Islam di bumi nusantara indonesia. Apabila salah satu dari dewan Dakwah atau sunan sunan tersebut  meninggal dunia maka akan segera diganti oleh sunan lainya yang disepakati para wali songo.

Wali 9 yang di kenal kalangan umat Islam di Tanah jawa dan nusantara indonesia adalah wali songo periode yang kelima Manurut buku kisah wali songo yang disusun MB. Rahimsyah Ar. 

Wali Songo disebut para sunan karena mereka tersusun dalam 9 orang mubalig penyembar Ajaran Islam di pulau jawa.
Berikut nama - nama sunan sunan atau di sebut wali songo yang dimaksud periode ke lima yaitu Syeh Maulana Malik Ibrahim(Sunan Gresik), Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. 
Itulah 9 wali ditanah jawa yang banyak di ziarahi makam - makam-nya oleh umat Islam di seluruh dunia. kususnya masyarakat indonesia bahkan makamnya menjadi pusat wisata ziarah religi . 

Berikut kisah cerita wali songo dalam sejarah lengkap sembilan waliyullah.

Sunan Maulana Malik Ibrahim

Asal usul syeh maulana malik ibrahim. jauh sebelum beliau datang ke tanah jawa, sudah ada umat islam di daerah pantai utara, termasuk desa Leran. dengan adanya bukti makam seorang wanita bernama Fatimah binti maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyah tau tahun 1082 masahi.

Sunan Maulana Malik Ibrahim lebih dikenal penduduk setempat sebagai kakek Bantal itu diperkirakan datang ke gresik pada tahun 1404 M. yang pada ahir hayatnya pada tahun 1419.
Gambar ilustrasi Sunan Gresik


Syeh Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Selain disebut Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel
Sejarah Sunan Ampel sebagai wali songo, Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.



Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Giri
Sejarah / Sunan Giri Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Gambar Sunan Giri

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

Sunan Bonang
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putra Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit Karena ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja Majapahit.

Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga memper-siapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesin, Arab dan Parsiatau Iran.

Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninmggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.

Berita segera disebar ke seluruh Tanah Jawa.Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.


Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkanjenazah beliau di Pulau Bawean.Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahandanya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembuingkus jenazah mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.


Pada malam harinya,orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban.Lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu.


Kapal layar segera bergerak ke arah ke Surabaya .Tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidakbisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.


Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya.Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.

Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan di antara murid-muridnya.


Sunan Bonang wafat pada tahun 1525. Makam yang dianggap asli adalah yang berada di kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.

Sesudah belajar di Negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.

Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem.Rembang, Tuban.dan daerah Sempadan Surabaya.


BIJAK DALAM BERDAKWAH

Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.


Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengamya.


Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.


Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.


Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang beradadiTuban, Pulau Bawean, Jepara,Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinyagelar Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.

Menurut cerita yang ada, Beliau diperkirakan lahir di tahun 1450. Asal-usul atau silsilah beliau ada yang berpendapat Raden Said atau Sunan Kalijaga merupakan orang pribumi Jawa asli. Pendapat tersebut berdasarkan pada cerita Babad Tuban yang menceritakan tentang penguasa Tuban pada tahun 1500 M

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Sunan kalijaga sebelum menjadi wali songo dulunya adalah seorang perampok yang hasil rampokanya dibagikan kepada rakyat miskin yang pada waktu itu rakyat diharuskan membayar upeti, padahal rakyat pada waktu itu lagi musim pajeklik.
Singkat cerita Raden Said tertangkap oleh ayahnya Adipati Tuban, yang menyebabkan Raden Said diusir dari rumah ahirnya Setelah diusir Raden Said tinggal di hutan yang bernama Jatiwangi, tetapi Raden Said tetap berbendirianya ingin menolong rakyat miskin mengulangi aksinya dengan nama samaran Brandal Lokajaya selama tinggal di hutan tersebut.

Suatu ketika lewatlah seorang berpakaian serba putih dengan membawa tongkat yang gagangnya berkilau seperti emas. Beliau pun bermaksud melakukan aksi untuk merampas tongkat tersebut, namun kejadian tersebut malah membuat Raden Said tersentuh dan tersentak hatinya.

Ketika Raden Said merebut tongkat dari orang berbaju putih secara paksa menyebabkan orang tersebut tersungkur jatuh. Sambil mengeluarkan air mata dan tanpa suara orang itu pun bangun dengan susah payah. Sedangkan, Raden Said saat itu mengamati tongkat itu, sadar bahwa tongkat itu tidak terbuat dari emas.
Heran melihat orang berbaju putih itu menangis, akhirnya Raden Said pun mengembalikan tongkatnya. Namun orang itu berkata “Bukan, tongkat itu yang aku tangisi” sambil menunjukkan rumput di telapak tangannya. “Perhatikanlah Aku sudah berbuat dosa, melakukan perbuatan sia-sia. Rumput ini tercabut saat aku jatuh tadi.”
“Cuma beberapa helai rumput saja. Kamu merasa berdosa?” tanya Raden Said heran.
“Ya , memang berdosa! Karena kamu mencabutnya tanpa sebuah kebutuhan. Apabila untuk makanan ternak itu tidak apa. Namun apabila untuk sebuah kesia-siaan sungguh sebuah dosa!” jawab orang itu.

Kemudian Raden Said tentang apa yang sedang ia perbuat di tengah hutan seperti ini. Setelah mengetahui perbuatan Raden Said, orang itu mengatakan sebuah perumpamaan terhadap perbuatan Raden Said.
Apa yang dilakukan Raden Said ibarat mencuci pakaian yang kotor menggunakan air kencing yang hanya akan menambah kotor dan bau pakaian tersebut. Raden Said pun tercekat mendengar pernyataan orang berbaju putih tersebut.

Raden Said pun semakin dibuat terpukau dengan keajaiban yang ditunjukkan dengan mengubah sebuah pohon aren menjadi pohon emas. Karena penasaran dan kagum, Raden Said memanjat pohon aren itu. Namun ketika hendak mengambil buahnya, tiba-tiba pohon itu rontok mengenai kepalanya. Akhirnya Beliau jatuh ke tanah dan pingsan.
Setelah bangun dari pingsan, Raden Said pun sadar bahwa orang berbaju putih itu bukan orang biasa. Sehingga timbul keinginan untuk belajar kepadanya. Akhirnya dikejarnya orang berbaju putih itu sekuat tenaga. Setelah berhasil mengejarnya ia pun menyampaikan keinginannya untuk berguru kepada orang berbaju putih itu.

Kemudian diberikan sebuah syarat yaitu Raden Said diperintahkan untuk menjaga tongkat yang dibawa dan tidak boleh beranjak sebelum orang itu kembali menemuinya. Tiga tahun kemudian datanglah orang itu menemui Raden Said yang ternyata masih menjaga tongkat yang ditancapkan di pinggir kali (sungai).
Orang berbaju putih itu ternyata adalah Sunan Bonang. Kemudian Raden Said diajak pergi ke Tuban untuk diberi pelajaran agama. Sebagian orang percaya bahwa dari kisah inilah nama Sunan Kalijaga diberikan kepada Raden Said. Karena kata Kalijaga terdiri dari “kali” berarti sungai dan “jaga” berarti menjaga.
Setelah menjadi sunan maka sunan bonan mengizinkan sunan kalijaga untuk berdakwah islam ditanah jawa Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

Sunan Gunung Jati
Sejarah Sunan Gunung Jati sebagai wali songo, Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.



Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Sunan Drajat
Sejarah Sunan Drajat sebagai wali songo, Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. 
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.


Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.

Sunan Kudus
Sejarah Sunan Kudus sebagai wali songo, Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.



Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Sunan Muria
Sejarah Sunan Muria sebagai wali songo, Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.

Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.



Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

Itulah sekilas perjalanan para waliyullah di Tanah Jawa Dan Nusantara. mudah mudaham bermanfaat
terima kasih

Hikmah Manaqib Syeh Abdul Qadir Jailani

Hikmah Membaca Manaqib Syeh Abdul Qadir Al-Jailani


Hikmah membaca Manaqib Syeh Abdul Qadir Jailani, dimana bacaan manaqib ini diyakini para murid toriqoh dengan membaca manaqib akan memiliki banyak keutamaan.

Apa itu Manaqib?.. Manaqib bisa diartikan “riwayat hidup” yang berhubungan dengan sejarah kehidupan orang orang besar atau tokoh tokoh penting seperti biodata tentang kelahirannya, silsilah keturunanya, kegiatan dan perjuanganya, guru gurunya, sifat sifatnya dan ahlak pribadinya dalam hal ini Syeh Abdul Qadir Jailani.
Baca Juga : Biografi Syeh Abdul Qadir Jailani
Manaqiban Sudah menjadi budaya bagi orang-orang ahlu toriqoh untuk membaca manaqib sebagai rasa cinta kepada seorang mursyid dan untuk di tauladani ahlak ahlak para guru gurunya, dalam pembacaan manaqib harus terlebih dahulu diawali dengan khadloroh dan kemudian membaca tahlil bersama-sama, pemimpin atau yang membaca manaqib baru memulai membaca manaqib dengan beberapa membaca sholawat Nabi.


Hukum Membaca Manaqib-an


Membaca dan mendengarkan manaqiban, mempelajari atau mengetahui segala sesuatu dengan kehidupan riwayat hidup seorang tokoh  - tokoh sahabat nabi Muhamad SAW, para ulama Tabi’iin, Ulama Mujahidin, dan Parawaliyullah dan lain lainya dengan tujuan untuk di petik dan dijadikan pelajaran dan contoh unsur keteladdananya yang baik adalah sangat besar Faidah dan manfaatnya dan termasuk dianjurkan Agama. 


Sebagai  mana dalam al-Qur’an surat Yusuf , ayat 111
 لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

Yang Artinya : Sesungguhnya pada kisah mereka mengandung suri keteladanan bagi orang orang yang berakal”

Dari uraian diatas dengan rasa cinta dan ingin kita mensuritauladani mereka orang orang soleh maka membaca manaqib ( riwayat orang orang soleh ) boleh saja, dalam hal ini pembacaan manaqib syeh abdul qadir jailani kita ingin mengenal beliau supaya kita bisa mengikuti amalan amalan soleh beliau.

Sedangkan salah satu hal yang bisa menambah rasa kecintaan kita kepada para wali adalah dengan membaca manaqibnya. Dengan membaca manaqibnya kita bisa mengetahui kesalehan dan kebaikannya, dan hal ini tentunya akan menambah kecintaan kita kepadanya.  

Dari sini dapat kita pahami bahwa membaca manaqib Syaikh Abdul Qadir Jilani itu sangat baik. Karena akan menambah kecintaan kita kepada beliau, yang notebenenya adalah salah seorang wali Allah, bahkan beliau disemati gelar sebagai sulthan al-awliya` atau pemimpin para wali. 

اِعْلَمْ يَنْبَغِي لِكُلِّ مُسْلِمٍ طَالِبِ الْفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ أَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكَاتِ وَالنَّفَحَاتِ وَاسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ وَنُزُوْلِ الرَّحْمَاتِ فِيْ حَضَرَاتِ اْلأَوْلِيَآءِ فِيْ مَجَالِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحَالَ ذِكْرِهِمْ وَعِنْدَ كَثْرَةِ الْجُمُوْعِ فِيْ زِيَارَاتِهِمْ وَعِنْدَ مُذَاكَرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَنَاقِبِهِمْ

“Ketahuilah! Seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan, agar ia mencari berkah dan anugrah, terkabulnya doa dan turunnya rahmat di depan para wali, di majelis-majelis dan kumpulan mereka, baik yang masih hidup ataupun sudah mati, di kuburan mereka, ketika mengingat mereka, dan ketika banyak orang berkumpul dalam berziarah kepada mereka, serta ketika mengingat keutamaan mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka”. (Alawi al-Haddad, Mishbah al-Anam wa Jala` azh-Zhulam, Istanbul-Maktabah al-Haqiqah, 1992 M, h. 90)


Sedangkan mengenai suguhan makanan baik sebelum atau setelah manaqiban pada dasarnya merupakan penghormatan kepada para tamu yang diundang. Dengan kata lain, penyuguhan itu dalam rangka memuliakan tamu, sedangkan kita dianjurkan memulianan tamu. Karena memuliakanntamu termasuk salah satu tanda dari kesempurnaan atau benarnya keimanan kita. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw; “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir (dengan iman yang sempurna) maka hendaknya ia memuliakan tamunya” (H.R. Bukhari-Muslim).

رَغَّبَ الإْسْلاَمُ فِي كَرَامَةِ الضَّيْفِ وَعَدَّهَا مِنْ أَمَارَاتِ صِدْقِ الإْيمَانِ ، فَقَدْ وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَال : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ


“Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk memuliakan tamu, dan mengkategorikan pemulian kepada tamu sebagai salah satu tanda benarnya keimanan. Sungguh, Nabi saw telah bersabda; ‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir (dengan iman yang sempurna) maka hendaknya ia memuliakan tamunya” (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Mesir-Mathabi` Dar ash-Shafwah, cet ke-1, juz, 24, h. 218)

Itulah sekilas tentang manaqiban mudah - mudahan kita jadi tau apa itu manaqiban sendiri yang selalu diamalkan orang orang ahlu toriqoh / yang mengikuti toriqoh
Baca Juga : Sejarah Wali Songo Terangkum Dalam Kisah 9 Wali
Back To Top